Umat Ihsan

Written by: Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada Ramadhan tahun 1433 yang lalu saya mendapat undangan dari Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV), untuk tausiyah selama Ramadhan. Banyak pertanyaan dan pernyataan yang patut dijawab dan direnungkan. Salah satunya dari bang Nuim Khayyat, penyiar ABC dan tokoh senior masyarakat Indonesia. Katanya ketika ia pulang ke Indonesia ia dapati sambutan ramadhan dimana-mana, luar biasa meriahnya. Tapi, tanyanya, mengapa keghairahan ini tidak berpengaruh pada surutnya tindakan amoral, korupsi, kejahatan yang dilakukan umat Islam. Saya tidak sempat menjawab. Jawaban saya curahkan dalam tausiyah. Masalah pelaku tindakan amoral seperti koruptor, penipu rakyat, penyalahgunaan kekuasaan dsb harus dianalisa dengan pisau makna-makna dalam Islam.

Pisau analisa itu dapat dirujuk kepada tiga terma yang diajarkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad saw yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Mungkin lebih sederhananya adalah trilogi ilmu, iman dan amal, yang menunjukkan suatu tahapan.

Benar, implikasi adanya tahapan dari trilogi itu dapat dirujuk pada peristiwa di zaman Nabi Muhammad saw. Suatu hari datang kepada Nabi orang-orang Badui dan berkata “kami telah beriman”. Nabi lalu menjawab “belum, katakan saja kami telah berislam sedangkan iman itu belum masuk kedalam hati kalian”. Jadi ternyata seorang Muslim belum tentu Mu’min.

Menjadi seorang Muslim pun bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama dengan bersyahadat saja orang sudah dianggap Muslim. Jika orang mau bersyahadat ia baru disuruh shalat 5 waktu, jika ia mau maka ia disuruh berzakat, demikian seterusnya. (hadith riwayat Bukhari-Muslim no 1389/1425).

Namun, orang yang sudah bersyahadat dan menjalankan semua rukun Islam lainnya belum tentu sempurna Islamannya. Agar keislaman seseorang menjadi berkualitas Nabi pun berpesan :”beribadahlah!” artinya bertekunlah dalam menjalankan rukun-rukun Islam. Tapi pesan Nabi bukan tanpa maksud sebab Nabi selanjutnya bersabda :”hingga datang keyaqinan dalam hatimu”. Ini berarti untuk menjadi mu’min seorang Muslim harus istiqamah dalam menjalankan ibadah (rukun Islam). Sebab, menurut para ulama, istiqamah adalah separoh dari hikmah.

Jika seseorang berislam dengan iman maka shalat, puasa, zakat dan hajinya berdampak sosial. Orang shalat tanpa iman hingga lupa apa yang diucapkan dalam shalatnya adalah celaka (al-Ma’un 4-5). Orang yang berpuasa tanpa iman ia hanya lapar dan haus saja. Dan jika orang berhaji tapi perilakunyan tidak menjadi lebih baik, maka tidak ada gunanya ia berpayah-payah naik haji. Demikian seterusnya.

Sebaliknya, jika orang berislam pada tingkat iman maka ia akan selamat dunia dan akherat. Orang berpuasa dengan iman atau karena iman, akan diampuni dosa-dosanya dimasa lalu. Ia bahkan bisa sebersih jabang bayi. (HR al-Nasa’i, Ahmad, Ibn Khuzaimah, Ibn Majah dan al-Bayhaqi). Sama juga bagi yang berhaji. Jika ia haji karena iman sehingga mabrur, maka hidupnya akan berkah dan masuk sorga.

Jika keislaman sudah disertai keimanan, maka perilakunya akan mencapai tingkatan ihsan. Ihsan adalah berislam dan hidup bersosial seakan-akan ia terus-terus menerus melihat dan diawasi Tuhan. Inilah yang kemudian disebut “muhsinin”. Muslim yang berada pada tingkat ini tidak akan mengerjakan sesuatu yang tidak disukai Allah apalagi yang dilarang.

Setara dengan tingkatan ihsan adalah tingkatan taqwa. Taqwa lebih ketat lagi dari ihsan. Sebab taqwa sudah pada tahap super hati-hati dalam berbuat apapun, hingga pada tingkat “takut” berbuat dosa, takut khilaf, takut salah dan takut akan kemurkaan Allah.  Muslim pada kedua tingkat ini tidak akan korupsi, mencuri, berbuat dosa besar atau dosa-dosa sosial lainnya. Janji Allah jelas “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang muhsinin. (Al-nahl 128). Artinya, karena orang ini menjaga dirinya maka Allah akan menjaganya.

Di sini kita tahu jawaban dari pertanyaan bang Nuim Khayyat tadi. Mengapa korupsi dan dosa-dosa sosial lainnya masih mendominasi wajah bangsa ini. Dari pemahaman diatas kemungkinan besar, keislaman bangsa Indonesia ini belum sampai pada tahap mu’min, belum juga pada tingkatan muhsin, apalagai pada tingkat taqwa.
Lalu dimana letak salahnya? Kesalahannya juga terletak pada ilmu umat Islam tentang Islam, iman, ihsan dan taqwa. Solusinya mesti komprehensif. Ceramah, pengajian dan training serta pendidikan Islam perlu diarahkan untuk memahami (berilmu) dan menjalankan (beramal) tentang itu semua. Sebab Islam adalah agama dan peradaban, maka dari itu kita semua berkewajiban membawa ajaran dan keyakinan menjadi perilaku sosial. Artinya kita perlu meningkatkan umat Islam menjadi umat ihsan. Jika kaum Muslimin meningkat menjadi kaum Muhsinin, Allah berjanji akan memberi jalan-jalan kemudahan dalam perjuangannya. (Al-Ankabut 69).

Leave a comment